Tentu saja, menggunakan software bajakan dengan alasan apapun tidak dibenarkan. Tapi....
Namun kalau bicara untuk pendidikan dan situasi ekonomi kita, situasnya memang dilematis. Saya akui kalau lisensi Adobe itu lumayan mahal. Tentu saja ada software alternatif untuk desain grafis yang gratis seperti Inkscape atau Gimp. Namun masalahnya, modul pendidikan dan segala tetek bengek teknis pengajaran kita sudah terbiasa dengan Adobe dan Corel. Mengubah itu jelas lumayan ribet. Kemudian, di lapangan kerja, lowongan untuk yang bisa Adobe dan Corel juga jauh lebih banyak permintaannya. Gak keren kan mengajari anak didik kita dengan skill software yang ternyata kurang diminati industri kerja pada umumnya? Sehingga mengganti perangkat lunak desain dengan program alternatif bukan hal yang ideal.
Saya lihat, Adobe memang memiliki harga khusus untuk guru, siswa dan bahkan untuk satu institusi pendidikan. Tapi…harganya masih lumayan mahal untuk setiap siswa, Rp269.800 (harga normal 715.000) untuk semua aplikasi per bulan, hmmm, ya per bulan, bukan per semester.
Itu bahkan untuk tahun pertama saja, di tahun berikutnya, harganya akan normal (Rp715.000) sesuai terms & conditions:
Kendala lainnya, sekolah yang layak mendapat lisensi Adobe adalah sekolah yang sudah terakreditasi oleh…. pemerintah Amerika Serikat dan Kanada:
Saya kurang tahu kalau masalah akreditasi ini. Bisa jadi sekolah di luar US dan Canada juga bisa, karena dulu saya pernah baca di grup FB desainer Indonesia ada yang pakai lisensi student, tapi entah itu hasil utak-atik atau memang resmi dari Adobe. Silakan dikoreksi ini jika saya salah. Saya hanya baca sesuai terms & conditions di situs Adobe untuk region Indonesia: Creative Cloud pricing and membership plans | Adobe Creative Cloud
Dengan keadaan ini hanya pemerintah yang bisa mewujudkan hal ini. Siapa tau mereka bisa melobi Adobe dan bekerja sama untuk sekolah-sekolah di Indonesia. Who knows?
Dilematis. Jika dibebankan ke siswa, saya rasa banyak yang akan keberatan, bayar SPP sekolah negeri saja banyak diantara kita yang kurang mampu. Kecuali memang sekolah yang orang tua siswanya sangat mapan dan kelas menengah keatas, atau anaknya sudah "sukses di usia muda", bisa saja pakai software berlisensi asli. Pakai software alternatif yang gratis adalah hal yang menarik, tapi output-nya kurang diminati di dunia kerja.
Pahit memang secara sadar membiarkan anak didik kita belajar dengan software bajakan. Semoga pemerintah sadar akan hal ini. Dan semoga saja anak didik kita akan sadar ketika sudah bekerja dan menjadi profesional, mereka bisa membalas budi dengan membeli lisensi resmi program yang mereka pakai.
Artikel ini ditulis oleh
Herry Sucahya - Freelance Graphic Designer